Dewan Pers di Persimpangan Jalan
Foto : M.Taufiq-Jurnalis
Aktualdetik.com, Semarang - Kebebasan pers adalah fondasi utama dari demokrasi yang sehat. Ia menjadi napas bagi keterbukaan, kritik, dan kontrol terhadap kekuasaan. Namun, laporan World Press Freedom Index 2025 menghadirkan cermin buram bagi Indonesia: negeri ini merosot ke peringkat 127 dari 180 negara. Angka itu tidak sekadar statistik, melainkan sinyal kuat bahwa kebebasan pers kita sedang sakit parah.
Ironisnya, di tengah keterpurukan itu, Dewan Pers lembaga yang seharusnya menjadi pelindung kemerdekaan dan profesionalisme jurnalis justru dinilai kehilangan arah. Ia tampak sibuk mengurusi regulasi internal yang kerap menimbulkan perpecahan di kalangan pers, ketimbang memperjuangkan nasib jurnalis di lapangan. Sejumlah kebijakannya bahkan dianggap mempersempit ruang gerak media kecil dan jurnalis daerah, yang justru menjadi denyut nadi informasi publik.
Kritik keras Ketua Umum PPDI, Feri Sibarani, bahwa Dewan Pers telah gagal menjalankan amanah reformasi, sesungguhnya bukan sekadar luapan kekecewaan. Itu adalah peringatan serius bahwa lembaga ini mulai menjauh dari roh perjuangan 1998, ketika pers diperjuangkan sebagai pilar keempat demokrasi. Kini, kebebasan yang dulu diperoleh dengan darah dan air mata itu justru terpasung dari dalam, oleh tangan-tangan yang mestinya menjaganya.
Banyak jurnalis daerah mengaku tidak lagi merasa terlindungi. Mereka kerap menghadapi tekanan politik, ekonomi, bahkan kriminalisasi hukum, sementara Dewan Pers seolah hadir hanya di ruang seminar dan konferensi. Realitas ini menunjukkan betapa kemerdekaan pers di Indonesia kini menjadi hak istimewa bagi segelintir media besar, bukan hak konstitusional yang merata bagi seluruh insan pers di tanah air.
Sudah saatnya dunia pers melakukan rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi bukan sekadar duduk bersama, melainkan membangun ulang struktur Dewan Pers agar kembali pada ruhnya: independen, kredibel, dan berpihak pada kepentingan publik, bukan pada kekuasaan atau kepentingan ekonomi. Tanpa itu, Dewan Pers hanya akan menjadi lembaga seremonial yang kehilangan legitimasi moral di mata para jurnalis sendiri.
Pers yang merdeka tidak dapat hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan. Ia memerlukan ruang yang bebas, kritis, dan beretika. Jika Dewan Pers terus menutup diri terhadap perubahan, maka cepat atau lambat, sejarah akan mencatatnya bukan sebagai pelindung kebebasan pers, tetapi sebagai saksi bisu dari kemunduran demokrasi di negeri ini.
Karena demokrasi tanpa pers yang merdeka hanyalah panggung kosong dan pers tanpa keberanian hanyalah gema dari masa lalunya sendiri.
Penulis Oleh : M.Taufiq-Jurnalis dan Pemerhati Media



Komentar Via Facebook :