Praktisi Hukum Berbakat Asal Riau Bicara Soal Kebijakan "Begal" Anggaran Daerah

Foto : Praktisi hukum Riau, Feri Sibarani,S.H,M.H.
AKTUALDETIK.COM - Problematika fiskal (keuangan) di Pemerintahan Indonesia terus mengalami "depresi". Masih dalam penderitaan akibat kebijakan efisiensi oleh Presiden RI, Proabowo Subianto, kini muncul kebijakan menteri keuangan, Purbaya Yudhis Sadewa, akan memangkas anggaran ke daerah dengan besaran mencapai 29%, menjadi "Bencana Keuangan" yang multi dimensi sebagaimana disampaikan oleh praktisi hukum Riau, Feri Sibarani,S.H,M.H. 10/10/2025.
Mengingat isu yang kian memblunder soal pemotongan keuangan Transfer Ke Daerah (TKD) awak media mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan Feri Sibarani, tentang bagaiamana kebijakan tersebut jika dilihat dari perspektif hukum yang berlaku.
Dari pemaparan pimpinan lembaga masyarakat dan organisasi Pers ini, dapat kami rangkum sebagai berikut.
Menurut mantan jurnalis senior ini, dasar hukum hubungan Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah telah diatur secara tegas dan baku dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dikatakannya, berdasarkan UUD 1945 khususnya pasal 18 ayat (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Sementara pasal 18 ayat (2) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
"Pasal 18A ayat (1) Hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah didasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan, serta prinsip hubungan yang selaras dan adil. Bahkan ditegaskan pasal 18 B ayat (1) bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa" Sebutnya.
Ia merinci, bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ada beberapa pasal penting yang menjadi dasar hubungan pusat dan daerah. Secara konseptual dan konfrehensif aspek dasar hukum dalam UU Nomor 23 tahun 2014 berisi pokok hubungan kewenangan, yakni pasal 9 sampai dengan 11.
"Pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, urusan absolut (pusat), urusan konkuren (bersama), dan urusan umum (pusat). Asas Hubungan pada pasal 2 ayat (4) dan hubungan pusat dan daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan daerah dalam sistem NKRI. Hubungan Keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan SDA pasal 282–300 mengatur pembagian keuangan antara pusat dan daerah secara adil dan proporsional" Ulas Feri.
Lebih tegas, Feri mengatakan ada kewenangan Daerah yang Tidak Boleh Diintervensi Pusat. Yaitu sesuai pasal 9–12 UU No. 23 Tahun 2014, dimana Pemerintah Daerah disebut memiliki kewenangan penuh (Otonomi nyata dan bertanggung jawab) atas urusan yang bukan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
"Jadi pusat jangan melanggar undang-undang dalam membuat kebijakan. Ada kewenangan daerah yang tidak boleh di intervensi atau dihalangi Pusat antara lain, urusan Pemerintahan Konkuren yang menjadi kewenangan daerah, seperti Pendidikan dasar dan menengah, Kesehatan masyarakat, Infrastruktur lokal dan tata ruang daerah, Pemberdayaan masyarakat dan desa, Pengelolaan lingkungan hidup daerah, Pelayanan perizinan dan investasi daerah, dan Pemberdayaan ekonomi lokal dan UMKM" Jelasnya.
Menurutnya, pemerintah pusat tidak boleh menarik kembali urusan yang sudah diserahkan, kecuali melalui perubahan undang-undang.
"Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 adalah urusan absolut yang tetap menjadi kewenangan pusat hanyalah bidang Politik luar negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi (peradilan), Moneter dan fiskal nasional, serta Agama. Artinya, di luar itu, daerah memiliki kemandirian mengatur kebijakannya sepanjang sejalan dengan kepentingan nasional. Dan jangan di usik oleh pusat" Katanya.
Feri Sibarani yang dikenal sangat vokal menyatakan berbagai macam kritikan kepada pemerintah itu mengingatkan bahwa kebijakan kementerian keuangan Purbaya dapat di maknai sebagai tekanan dari pusat melalui kebijakan keuangan dan politik.
"Jika Pemerintah Pusat menekan daerah secara keuangan atau politik, dengan berbagai kebijakan fiskal seperti ini, itu dapat dianggap pelanggaran terhadap asas otonomi daerah dan prinsip keadilan fiskal. Purbaya atau presiden RI Prabowo Subianto harus ingat ada pasal 282 UU 23 tahun 2014 soal pembagian keuangan pusat dan daerah harus proporsional, demokratis, transparan, dan adil" Lanjutnya.
Sebagaimana dalam pasal 283 ayat (2) tujuan hubungan keuangan pusat dan daerah adalah untuk mendukung pemerataan pembangunan dan pemberdayaan daerah. Sehingga lanjut Feri, jika pemerintah pusat menahan atau memotong dana transfer daerah (DAU atau DAK) secara tidak sah, itu dapat menekan kepala daerah untuk kepentingan politik tertentu, maka itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18A ayat (1) dan dapat menjadi bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
"Kemungkinan Daerah-Daerah akan teriakkan merdeka dari tekanan pusat. Memang secara hukum, tidak ada dasar konstitusional bagi suatu daerah untuk memisahkan diri atau “merdeka” dari NKRI, karena Indonesia adalah Negara Kesatuan (Pasal 1 ayat 1 UUD 1945). Namun, jika prinsip otonomi, keadilan, dan pemerataan terus dilanggar oleh pusat, hal itu berpotensi menimbulkan ketegangan politik dan dis integrasi, terutama jika daerah merasa dieksploitasi sumber dayanya tanpa manfaat balik, atau aspirasi daerah selalu ditekan secara politik dan fiskal.
"Hal yang lebih ekstrim pun akan terjadi, misalnya pemerintah Daerah akan terpaksa menekan masyarakatnya untuk menutupi kekurangan fiskal daerah, apalagi menyangkut kebutuhan dasar masyarakat yang sudah "Dibegal" oleh pemerintah pusat. Sebab itu, Negara harus menjaga keseimbangan hubungan pusat dan daerah, agar otonomi berjalan sehat tanpa mengarah pada separatisme" Jelasnya.
Feri Sibarani berharap agar seluruh Kepala Pemerintah Daerah bersama-sama dengan perwakilan daerah (DPD) RI, jangan hanya berdiam diri dan ketakutan bertindak untuk kepentingan pembangunan daerahnya. Selain itu, Feri Sibarani juga mengatakan dengan tegas, agar semua kepala daerah di Indonesia, kususnya para Gubernur menyadari kesalahannya, dan bertobat dari keserakahan dan ketamakan selama ini.
"Para gubernur dibantu oleh DPD masing-masing jangan ragu untuk bertindak secara hukum untuk memperjuangkan prinsip otonomi daerah dan demi kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah daerah dapat menempuh upaya hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Semua kebijakan pemerintah pusat yang nyata-nyata melanggar prinsip hukum, itu dapat diupayakan pembatalan ke pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), demi keadilan dan kepastian hukum dalam bernegara" Ujarnya.
Menurutnya, Kepala Pemerintah Daerah, para Gubernur jangan hanya bergumam saja, melainkan harus bertindak secara nyata dengan mekanisme yang sudah disiapkan, seperti menempuh jalur hukum di PTUN, di MA dan di MK.
Sumber: Wawancara
Editor: FITRI.
Komentar Via Facebook :