Kesetaraan emansipasi perempuan Indonesia

Setara Bukan Sama Rata Sama Rasa. Prof Marhaeni : Setara itu Seperti Rel Kereta

Setara Bukan Sama Rata Sama Rasa. Prof Marhaeni : Setara itu Seperti Rel Kereta

Prof Tri Marhaeni Pudji Astuti, Guru Besar Antropologi UNNES Semarang (kiri), dalam Dialog Interaktif bersama Parlemen Jawa Tengah, memeringati Hari Kartini, di Diamond Ballroom, Hotel Pesonna, Jl. Depok 33 Semarang.

SEMARANG AKTUALDETIK.COM - Peringatan Hari Kartini, merupakan momen merayakan kesetaraan emansipasi perempuan Indonesia. Namun, dalam dunia emansipasi yang disebut dengan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, sebenarnya tidak harus sama rata dan sama rasa, karena konstruksi biologis dan konstruksi sosial tidak bisa disamaratakan. 

Kepemimpinan tidak ditentukan oleh faktor biologis, tetapi oleh di antaranya kemampuan dan skill. Karena itu, perempuan yang mempunyai kemampuan kepemimpinan dan skill manajerial berhak menjadi pemimpin publik, meskipun secara biologis ia perempuan. 

Namun sebaliknya, seorang laki-laki yang tidak memiliki kecakapan memimpin ia tidak berhak menjadi pemimpin, meskipun secara biologis ia laki-laki. Pendapat ini dikuatkan oleh kenyataan banyak kaum perempuan menempati jabatan-jabatan strategis di wilayah publik seperti manager perusahaan, menteri negara dan perdana menteri, bahkan presiden. 

"Setara itu seperti rel kereta api. Jejer (berdampingan, red) terus, tapi tidak ketemu-ketemu. Selama ini, selalu yang dikatakan emansipasi itu sama rata sama rasa. Itu yang salah. Jadi setara itu bukan berarti, jika ada pilot laki-laki harus ada pilot perempuan. Yang mengharuskan siapa? Itu yang menjadi pertanyaan," jelas Prof Tri Marhaeni Pudji Astuti, Guru Besar Antropologi UNNES Semarang, dalam Dialog Interaktif bersama Parlemen Jawa Tengah, memeringati Hari Kartini, di Diamond Ballroom, Hotel Pesonna, Jl. Depok 33 Semarang.

Jadi kalau kita bicara tentang kesetaraan, lanjutnya, itu bukan sama rata sama rasa. Setara itu tidak pernah sama. Jadi setara itu misalnya, pekerjaan laki-laki di luar rumah dari pukul 7 hingga 4 sore itu setara dengan pekerjaan ibu rumah tangga di dalam rumah dari pukul sekian hunga pukul sekian, itu bisa dikatakan setara.

"Secara sosial, tugas domestik ini bisa dipegang sama-sama, baik laki-laki atau perempuan. Satu contoh, misalkan laki-laki menyapu atau memasak, bikin mie. Apakah laki-laki bisa berubah jadi perempuan? Itulah yang harus dididikkan kepada anak-anak kita, tentang kesetaraan," paparnya. 

Absa

Bagi masyarakat yang memiliki informasi atau mengetahui kejadian/peristiwa dimanapun atau ingin berbagi foto dan video, silakan dikirim ke nomor WA:  0812 6830 5177 - Atau EMAIL redaksi : [email protected].
JANGAN LUPA 
Mohon dilampirkan data pribadi.


 

Komentar Via Facebook :