Menyoal Kompleksitas Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

Menyoal Kompleksitas Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia
MEDAN,AKTUALDETIK.COM
Tindak pidana pencucian uang (TPPU) telah menjadi ancaman serius dalam sistem hukum dan perekonomian Indonesia.
Kejahatan ini tidak hanya berkaitan dengan upaya menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana, tetapi juga berdampak luas terhadap integritas institusi keuangan, kredibilitas hukum, serta stabilitas
ekonomi nasional.
Pencucian uang tergolong dalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena melibatkan jaringan lintas negara, bersifat terorganisir, dan sulit untuk ditelusuri akibat keterlibatan berbagai pihak dan pemanfaatan celah hukum.
UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
merupakan instrumen utama yang mengatur tindak pidana ini.
Ketentuan dalam undang undang tersebut mencakup segala aspek terkait tindakan menyembunyikan, mentransfer,
menukarkan, atau mengalihkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.
Penegakan hukum terhadap TPPU tidak hanya difokuskan pada pelaku
utamanya, tetapi juga melibatkan pelaku penyerta, seperti pihak yang turut serta dalam
membantu proses pemindahan atau penempatan dana hasil kejahatan.
Secara yuridis, TPPU memiliki karakteristik sebagai delik formil, yang berarti penegakan
hukumnya tidak mensyaratkan bahwa tindak pidana asal harus telah terbukti lebih dahulu
dalam pengadilan.
Hal ini diperkuat dengan asas follow the money, yang menjadi strategi penting dalam membongkar jaringan kejahatan terorganisir.
Asas ini memungkinkan aparat penegak hukum menelusuri aliran dana hingga ke akar sumbernya, sekalipun tindak pidana asal belum diputus secara final.
Dengan pendekatan ini, pelaku TPPU dapat dijerat secara langsung sepanjang terdapat bukti kuat bahwa dana tersebut berasal dari perbuatan melawan hukum.
Modus operandi TPPU sangat beragam, mulai dari transaksi tunai dalam jumlah besar,
penggunaan perusahaan cangkang (shell companies), pemanfaatan rekening atas nama pihak ketiga, hingga pembelian aset mewah seperti properti, kendaraan, atau barang seni bernilai tinggi.
Bahkan, beberapa pelaku memanfaatkan celah dalam sektor non-bank, seperti biro perjalanan, perdagangan emas, hingga aktivitas perjudian yang tidak tercatat dalam sistem keuangan formal.
Kelemahan dalam sistem pengawasan dan pelaporan menjadi celah yang sering dimanfaatkan pelaku untuk menghindari jerat hukum.
Oleh karena itu, peran aktif lembaga pelapor seperti perbankan, notaris, dan lembaga keuangan non-bank menjadi sangat vital dalam rangka memberikan laporan transaksi mencurigakan (suspicious transaction report/STR) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Perluasan subjek pelapor sebagaimana diatur dalam pasal 17 dan 18 UU TPPU menjadi langkah progresif dalam memperkuat sistem deteksi dini terhadap aktivitas pencucian uang.
Penting untuk dipahami bahwa dampak pencucian uang tidak bersifat individual, melainkan sistemik.
Pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi, perdagangan narkotika, atau kejahatan lingkungan, berkontribusi besar dalam menciptakan ekonomi bayangan (shadow
economy) yang tidak terjangkau oleh sistem perpajakan negara.
Akibatnya, pendapatan negara berkurang, distribusi ekonomi menjadi tidak merata, dan terjadi disinsentif terhadap pelaku usaha yang taat aturan. Secara normatif, implementasi hukum TPPU di Indonesia sudah cukup progresif, namun tantangan terbesar terletak pada kapasitas penegak hukum dalam menafsirkan bukti transaksi keuangan, koordinasi antarlembaga, serta upaya tracing asset lintas yurisdiksi.
Dibutuhkan sinergi kuat antara aparat penegak hukum, lembaga keuangan, serta sektor swasta dalam mendorong budaya kepatuhan terhadap regulasi anti pencucian uang.
Sebagai penutup, penguatan strategi penanggulangan TPPU tidak hanya menitikberatkan pada aspek represif melalui penindakan, tetapi juga pendekatan preventif dengan membangun sistem pengawasan transaksi yang transparan dan akuntabel.
Literasi keuangan masyarakat, edukasi anti pencucian uang di sektor swasta, dan pembaruan regulasi yang adaptif terhadap
perkembangan modus kejahatan keuangan merupakan kunci dalam memperkuat benteng
hukum nasional dalam menghadapi tantangan pencucian uang yang semakin Rumit.
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Oleh : Audilio Panjaitan
(Tim)
Komentar Via Facebook :