Potensi Konflik Kepentingan

Bengkalis, Dipimpin Oleh Oligarki Keluarga, Minim Integritas Dan Profesionalitas, Rentan Korupsi

Bengkalis, Dipimpin Oleh Oligarki Keluarga, Minim Integritas Dan Profesionalitas, Rentan Korupsi

Foto : Pimpinan Lembaga masyarakat, Pemantau Kebijakan Pemerintah dan Kejahatan di Indonesia (LPKKI), Feri Sibarani, S.H.,M.H, CCDE, CLDSI

AKTUALDETIK.COM - Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau menarik untuk di ulas. Bukan karena pembangunan infrastruktur daerahnya, atau kemajuan masyarakat dan ekonominya, melainkan karena konteks kerentanan korupsi yang seakan tidak pernah hilang, menyusul kenyataan, bahwa saat ini pemerintahan Bengkalis justru dipimpin oleh satu keluarga, antara lain, Bupatinya (Ibu), Ketua DPRD (Anak bupati), dan wakil ketua DPRD (Anak bupati). 01/08/2025.

Bertepatan dengan pelantikan bupati dan Ketua DPRD Bengkalis pada tahun 2024 lalu, ramai diberitakan di berbagai media dan kanal YouTube tentang satu keluarga yang menjadi Bupati dan pimpinan DPRD Bengkalis. Banyak rumor yang beredar, dan pendapat masyarakat keterlibatan satu keluarga dalam memimpin sebuah pemerintahan menjadi pertanda awal akan rentan perbuatan korupsi di Kabupaten Bengkalis yang dikenal dengan APBD tertinggi se provinsi Riau itu, 4,1 triliun tahun 2024 dan 3,3 triliunan tahun 2025.

Menyikapi hal ini, seorang praktisi hukum Riau, sekaligus pimpinan Lembaga masyarakat, Pemantau Kebijakan Pemerintah dan Kejahatan di Indonesia (LPKKI), Feri Sibarani, S.H.,M.H, CCDE, CLDSI, memberikan kajian hukumnya, tentang relevansinya, efektivitasnya, dan potensi dampaknya terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Bengkalis. 

Saat berbincang dengan awak media di Pekanbaru, Feri Sibarani mengatakan, bahwa ia melihat kepemimpinan pemerintahan di Kabupaten Bengkalis yang di dominasi oleh satu keluarga pastinya akan rentan terhadap banyak permaslahan hukum kedepannya. 

"Bengkalis ini memang sudah kita monitor ya, Seorang bupati merupakan ibu dari Ketua DPRD Bengkalis, dan Ibu dari wakil ketua DPRD Bengkalis. Yang kita sorot sebenarnya bukan soal posisi jabatannya, tetapi bagaimana mungkin bupati, ketua DPRD dan wakil DPRD Bengkalis akan berjalan dengan prinsip chek and balance? Jadi yang kita perhatikan itu lebih pada tingkat integritas dan profesionalitasnya nanti" Sebut Feri Sibarani. 

Fenomena ini menurut Feri pastinya akan menimbulkan pertanyaan mendasar, mengingat begitu melekatnya hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya. 

"Masihkah pemerintahan dapat berjalan bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)? Bagaimana caranya, seorang anak akan bersikap tegas dan tegak lurus demi undang-undang untuk menolak membahas ranperda yang semisal merugikan masyarakat, atau disinyalir rawan korupsi jika di berlakukan. Karena di sisi lain keinginan itu adalah mengandung kebijakan seorang ibu dari Ketua DPRD dan wakil DPRD. Seorang anak akan memilih lebih tunduk dan menyerahkan semuanya kepada sang ibunda" Sebut Feri Sibarani. 

Selain itu, menurut mantan wartawan senior di  Riau itu, ia juga melihat bahwa formasi kepemimpinan seperti di Bengkalis itu akan berpotensi menghambat ruang demokrasi dalam rangka mencari pemimpin yang lebih terkualifikasi secara pengalaman, dan kualitas pemimpin. 

"Tentu ini juga berpengaruh terhadap ruang demokrasi di kabupaten Bengkalis. Karena secara elektabilitas dan elektoral, keluarga Amril Mukminin dan Bupati Kasmarani, serta anak-anak nya sudah unggul akibat oligarki keluarga dan kekuasaan keluarga dalam pemegang kepemimpinan di pemerintahan Bengkalis. Ini praktis bisa merugikan masyarakat lainnya, yang ingin maju dalam pentas pemilu" Jelasnya. 

UUD 1945 pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Pasal 28D ayat (3) memberikan hak kepada setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Menekankan prinsip kejujuran, keterbukaan, dan akuntabilitas.

Disebut Feri, bahwa dengan keterlibatan satu keluarga menguasai pemerintahan di Bengkalis, maka akan sulit untuk mematuhi pasal 2 dan 3 yang mengatur larangan penyalahgunaan wewenang dan praktik nepotisme. Demikian juga UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang  Pemerintahan Daerah, yang mensyaratkan sistem pengelolaan yang baik, dan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara. 

"Jika pengawas dan yang diawasi berasal dari satu keluarga, maka fungsi pengawasan berpotensi tidak efektif. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015, adalah MK membatalkan larangan pencalonan kepala daerah bagi anggota keluarga petahana. Namun menegaskan bahwa KPU dan Bawaslu wajib mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana untuk memenangkan keluarganya. Disinilah letak kerawanan dan kolusi akan terjadi, yang pada akhirnya mengancam keuangan negara" Katanya. 

Lanjutnya, meskipun pengangkatan atau pemilihan jabatan tersebut dilakukan secara demokratis melalui mekanisme pemilu, konsentrasi kekuasaan oleh satu keluarga tetap memunculkan persoalan etika dan moralitas publik. 

"Menurutnya Potensi Konflik Kepentingan DPRD sebagai lembaga legislatif memiliki fungsi pengawasan terhadap Kepala Daerah.

Jika Ketua DPRD adalah anak dari Kepala Daerah, maka pengawasan menjadi tidak independen. Ini merupakan bentuk konflik kepentingan struktural, yang bertentangan dengan prinsip good governance" Jelasnya. 

Ditambahkan Feri Sibarani, Bawaslu, KPK, dan Ombudsman harus lebih aktif mengawasi praktik penyalahgunaan wewenang dalam dinasti politik. Mendorong masyarakat untuk memilih berdasarkan kompetensi, bukan kekerabatan, serta menolak oligarki lokal. 

"Dana Earmark Bengkalis 2024 saja sebesar 2,7 triliunan, dan APBD 4,1 triliunan. Melihat besarnya anggaran pendapatan dan belanja itu, seharusnya rakyat Bengkalis hari ini sejahtera semua dan infrastruktur dapat terbangun semua. Namun yang kita dengar tidak seindah itu. Dana Earmark ini diduga banyak penyimpangan, dan bahkan alat transportasi umum kapal Roro hingga kini terus menjadi masalah besar di Bengkalis, karena masyarakat harus antri berjam-jam dan diduga terjadi maladministrasi dan malpraktik" Pungkasnya. 

Sumber: LPKKI

Editor: FIT

Komentar Via Facebook :