Pakar Hukum Indonesia Bicara

Pakar Hukum : Ucapan Ruslan Buton Bukan Makar, Kritik Biasa Dalam Negara Demokrasi

Pakar Hukum : Ucapan Ruslan Buton Bukan Makar, Kritik Biasa Dalam Negara Demokrasi

Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Rafly Harun, S.H., M.H., LL. M

JAKARTA AKTUALDETIK.COM - Penangkapan Ruslan Buton akibat postingan rekaman audio tentang surat terbuka terhadap Presiden Joko Widodo, yang berisi sejumlah kalimat yang bersifat kritis dan permohonan pengunduran diri presiden hingga kini terus menuai pro dan kontra ditengah masyarakat.

Bahkan sejumlah profesor dan pakar hukum Indonesia angkat bicara, sebut saja Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M, seorang pakar hukum tata negara mengatakan pendapat hukumnya, secara berimbang dan objektif bahwa penangkapan Ruslan Buton sesungguhnya dinilai tidak memenuhi uansur pidana atau sangkaan makar terhadap Presiden RI, Joko Widodo, dengan alasan karena Ruslan tidak melakukan paksaan mundur bagi Jokowi selaku presiden, dan tidak ada upaya diluar konstitusi.

Hal itu ditegaskan Rafly sebagaimana dilansir media online riausky.com, 1/6/2020, pasalnya, pecatan TNI itu dinilai hanya menyampaikan aspirasi dan kritik dengan meminta Presiden Jokowi mundur. Selain itu, Panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara tersebut juga dianggap sama sekali tak ada pernyataan yang menjurus ke makar.

Menanggapi hal itu, Refly Harun menjabarkan definisi kritik yang bisa berbeda respon. Menurutnya, respon atas kritik itu tergantung dari yang menerimanya.

“Kritik itu tergantung yang nerimanya,” cuitnya melalui akun Twitter @ReflyHZ, Minggu (31/5/2020).

Namun, kritik juga bisa dianggap sebagai sebuah penghinaan jika yang sasaran kritik itu tak bisa menerimanya.

“Kalau baperan, langsung dicap sebagai penghinaan bahkan serangan,” sambungnya.

Akan tetapi, kritik bakal menjadi masukan yang berarti jika memang bisa menerima dengan lapang dada.

“Kalau luas jiwanya, akan memandang sebagai masukan atau bahan introspeksi,” ujar pengamat politik itu.

Ahli hukum tata negara itu lantas meninggalkan pertanyaan ‘umpan’ untuk memancing komentar publik.

“Pemimpin-pemimpin kita yang seperti apa ya…,” katanya.

Dalam cuitan sebelumnya, Refly juga menyebut bahwa apa yang dilakukan Ruslan Buton adalah hal yang biasa.

Kendati sekalipun Ruslan Buton meminta Presiden Jokowi mundur dari jabatannya.

“Meminta presiden mundur itu nggak apa-apa dalam demokrasi,” tulisnya.

Akan tetapi, menjadi sebuah hal terlarang manakala hal itu dilakukan dengan paksaan atau di luar syarat sebagaimana dalam perundangan.

“Yang nggak boleh, maksa presiden mundur,” jelasnya.

Untuk diketahui, Ruslan Buton ditangkap di rumahnya di Kecamatan Wabula, Buton, Sultra, Kamis (28/5) kemarin.

Ia ditangkap setelah meminta Presiden Jokowi mundur lewat video yang viral di media sosial pada 18 Mei lalu.

Ruslan menilai, tata kelola berbangsa dan bernegara di tengah pandemi corona sulit diterima akal sehat.

Menurut Ruslan, solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah Jokowi mundur dari jabatannya sebagai presiden.

Bila tidak, bukan mustahil akan terjadi gelombang gerakan revolusi rakyat.

Ruslan dijerat pasal berlapis. Selain pasal tentang keonaran, dia dijerat UU ITE.

Yakni Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP. 

Editor : Feri Sibarani

Komentar Via Facebook :