Cabut Tuntutan, Tidak ada Biaya, Berdamai dengan Terdakwa

Cabut Tuntutan, Tidak ada Biaya, Berdamai dengan Terdakwa

JAKARTA, AKTUALDETIK.COM,- Mencabut tuntutan didalam delik biasa, perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, meskipun korban atau pelapor telah mencabut laporannya kepada pihak Kepolisian, Kepolisian tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut. 

Contoh delik laporan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) misalnya delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP), penggelapan (Pasal 372 KUHP) dan lain-lain.

Dalam delik aduan, perkara tersebut hanya dapat diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Contoh delik aduan misalnya perzinahan (Pasal 284 KUHP), pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP), fitnah (Pasal 311 KUHP) dan penggelapan/pencurian dalam kalangan keluarga (Pasal 367 KUHP).

 Karena sifat delik ini adalah berdasarkan aduan dari pihak yang dirugikan, maka hanya yang memasukkan aduan yang memiliki hak untuk mencabutnya dalam tempo tiga bulan sejak hari ia memasukkannya.

Selanjutnya proses pencabutan pengaduan dapat dilakukan pada beberapa tahap proses peradilan yaitu pada tahap penyidikan, pemeriksaan berkas perkara (Pra Penuntutan) dan pemeriksaan di muka persidangan dengan cukup mengatakan secara langsung atau mengajukan surat pernyataan pembatalan tuntutan kepada aparat penegak hukum bahwa dalam hal ini pelapor (korban) tidak ingin melanjutkan tuntutannya. 

Mengenai biaya yang diperlukan untuk mencabut suatu pengaduan, sebenarnya tidak ada aturan yang menyatakan bahwa pencabutan pengaduan tersebut memerlukan biaya. 

Tetapi, pada penerapannya di lapangan terkadang terjadi praktik-praktik yang tidak sejalan dengan hal tersebut. Terkadang ulah “oknum” polisi yang meminta “uang pelicin” agar suatu pengaduan bisa dicabut. 

Hal ini kemudian membuat kesan bahwa pencabutan pengaduan atau perkara memerlukan biaya, padahal tidak begitu aturannya. Normalnya, Anda sebagai pengadu dapat mengirimkan surat permohonan pencabutan perkara disertai dengan kesepakatan perdamaian antara para pihak, apabila memang semua syarat terpenuhi, maka seharusnya tidak ada “biaya-biaya pelicin” untuk hal tersebut.

Jika tuntutan tidak dicabut, terdakwa dapat menegosasikan Jalur Khusus (plea bargain) dengan jaksa. Ini dapat menyebabkan pengurangan tuntutan, atau pengurangan hukuman.

Jika tuntutan dicabut, catatan penangkapan akan tetap muncul pada laporan kriminal orang tersebut, dengan catatan “tuntutan dicabut”. Orang tersebut bisa menghubungi pengadilan yang menangani kasus itu dan membuat petisi agar catatan itu dihancurkan, hal ini bisa terjadi jika orang tersebut dituntut secara tidak adil. 

Cabut Tuntutan
Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Dosen Departemen Matematika Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI) Dr Sri Mardiyati buka-bukaan. Lewat kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, Sri membeberkan dirinya ditawari lulus jadi profesor asalkan mencabut gugatan ke Kemendikbud di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Sri merupakan calon profesor yang sudah direstui UI. Namun, namanya tiba-tiba tidak lulus di Kemendikbud Ristekdikti. Atas dasar itu, Sri menggugat ke PTUN Jakarta. Tetapi, di saat proses gugatan itu, ia diajak berdamai.

“Pertanyaan saya juga yang ingin saya tanya kepada Pak Sofwan, sebelum perkara ini bergulir ke PTUN, apakah Saudara mendengar ada pembicaraan atau pesan yang disampaikan oleh Sekjen Kementerian melalui Dekan FMIPA UI agar supaya klien kami ini tidak meneruskan perkara ini ke PTUN, akan tetapi dia akan diberikan gelar melalui NITK (Nomor Induk Tenaga Kependidikan)?” tanya Maqdir.

Atas apa yang dia alami, Sri menggugat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke MK dan menuding ada kartel gelar profesor di Kemendikbud-Ristek, sehingga peraturan yang ‘menjegalnya’ harus dihapuskan.
 

Komentar Via Facebook :