Terampasnya Hak serta Tak Dianggapnya Keberadaan Masyarakat Adat
.jpeg)
AKTUALDETIK.COM,- Undang-undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat, payung hukum untuk masyarakat adat adalah penting sebagai pemenuhan hak-hak masyarakat adat oleh pemerintah.
Lahan yang seharusnya jadi ruang hidup masyarakat adat dirampas untuk perkebunan, pertambangan dan infrastuktur. Selain itu, masih terjadi kriminaliasi terhadap masyarakat adat.
Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disebut masyarakat adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, memiliki asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, identitas budaya, hukum adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup.
Pengesahan RUU Masyarakat Adat akan berpengaruh untuk menekan timbulnya konflik, dan terjaganya lingkungan alam dari pencemaran.
Kerusakan lingkungan, akan terjadi jika pemerintah tidak melakukan perlindungan pada masyarakat adat dan terus menggunakan pendekatan industri ekstraktif.
Sejumlah kalangan juga menilai RUU Masyarakat Hukum Adat segera disahkan karena aturan tersebut merupakan salah satu cara untuk merawat modal dasar bangsa Indonesia.
Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat, yang diusulkan oleh dua anggota fraksi Partai Nasional Demokrat asal daerah pemilihan Sulawesi Selatan dan Papua, sudah dibahas sejak periode 2014-2019.
RUU itu juga sudah disetujui oleh rapat pleno Badan Legislasi DPR pada 4 September 2020. Namun RUU ini tidak pernah disahkan dalam rapat paripurna DPR. Padahal rancangan beleid itu sangat penting untuk menjaga kelestarian budaya dan adat istiadat beragam suku di Indnesia.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Ketua Panitia Kerja RUU Masyarakat Hukum Adat Willy Aditya mengatakan salah satu hal yang membuat RUU ini tidak pernah disahkan dalam rapat paripurna DPR adalah karena tidak adanya kemauan politik, baik dari presiden maupun DPR.
Padahal tujuh fraksi sudah sepakat melanjutkan RUU ini sebagai hak inisiatif DPR hasil pleno Badan Legislatif, sementara dua fraksi menolak.
Mereka yang menolak tampaknya dihantui bayang-bayang bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat akan menjadi hambatan bagi pembangunan dan investasi. Atau dikhawatirkan akan bertabrakan dengan pelaksanaan Undang-undang Cipta Kerja.
Pada praktiknya, korporasi-korporasi besar sebenarnya yang mencemaskan keberadaan undang-undang tersebut. Ini tampak dari pencaplokan tanah adat oleh perusahaan tertentu.
Sementara pada Selasa kemarin (11/1/2022), Sekretaris Daerah Kabupaten Toba Audi Murphy Sitorus memberikan klarfikasi soal proses identifikasi dan verifikasi masyarakat adat di Kabupaten Toba. Ia menjelaskan bahwa proses identifikasi dan verifikasi yang dilaksanakan oleh Tim Terpadu Identifikasi dan Verifikasi tidak menyangkut lahan, melainkan pengakuan masyarakat hukum adat.
“Yang benar adalah bahwa verifikasi dan identifikasi yang dilaksanakan oleh panitia masyarakat hukum adat tidaklah menyangkut tanah tetapi menyangkut pengakuan masyarakat hukum adat,” ujar Audi Murphy Sitorus saat disambangi di Kantor Bupati Toba.
Ia menjelaskan bahwa tim terpadu yang terjun langsung ke lapangan berdasarkan dua peraturan.
“Panitia masyarakat hukum adat berpedoman kepada ketentuan Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang pedoman pengakuan perlindungan masyarakat hukum adat. Dan juga Perda Nomor 1 Tahun 2020 tentang hak ulayat masyarakat hukum adat Batak Toba Kabupaten Toba,” sambungnya.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Hulu Sungai Selatan (HSS) juga telah mengajukan tiga rancangan peraturan daerah (Ranperda) inisiatif dalam rapat paripurna, Desember 2021 lalu.
Tiga ranperda inisiatif yang diajukan DPRD HSS tersebut, yakni pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Dayak Loksado, penyelenggaraan keolahragaan, dan penyelenggaraan dan pengembangan pesantren.
Komentar Via Facebook :