PT.Sindoka Klaim Telah Menyiapkan 700 ha Lahan Untuk Dihibahkan

Kriminalisasi Petani Lokal, Hingga KPA Sebut PT.Sindoka Ilegal Tanpa Izin HGU&IUP

Kriminalisasi Petani Lokal, Hingga KPA Sebut PT.Sindoka Ilegal Tanpa Izin HGU&IUP

SULAWESI SELATAN AKTUALDETIK.COM

Pandemi Virus Corona, tampaknya, tak menunda aksi perusahaan berhadapan dengan warga di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pekerja lapangan Sindoka yang dikawal kepolisian membongkar tanaman warga. Bagi perusahaan, warga yang masuk menduduki lahan adalah para penyerobot. Bagi warga, itu lahan garapan turun temurun mereka dan tanah negara yang terlantar.

Dilansir dari media mongabay.co.id, konflik lahan itu bermula pada 1987, Sindoka mendapatkan hak guna usaha (HGU) di wilayah Mangkutana seluas 3.509 hektar dengan izin pengembangan bioetanol. Kemudian perusahaan ini menanam kelapa hibrida, namun keok oleh produksi sawit PTPN XIV tak jauh dari lahan mereka. Tahun 1998, ketika Indonesia dilanda krisis, perusahaan tak mengelola lahan.

Ketika perusahaan ini tidak lagi menggarap, beberapa warga memasuki area HGU, menanam tanaman jangka pendek, seperti cabai, hingga jagung. Pada 2012, perusahaan kembali datang dan meminta warga keluar. Besitegang beberapa waktu, tetapi ada kesepakatan. Perusahaan membolehkan warga menanam dalam HGU.

Rahmat Darmawan, Manager Lapangan Sindoka, mengatakan, selama warga hanya menanam palawija itu tak jadi kendala. Perusahaan tidak akan mengganggu tanaman warga setempat.

“Kami ini masyarakat Luwu, tidak mungkin melarang dengan kekerasan. Kami ini punya hati nurani juga,” Katanya.

Meski demikian, apa yang dikatakan Rahmat berbanding terbalik pada kejadian 2014. Sebanyak 57 warga diseret ke kantor polisi dan 20 orang dijebloskan ke penjara.

Sebelumnya, di lahan HGU Sindoka, warga dan perusahaan serta aparat kepolisian telah beradu mulut. Foto yang tersebar tahun itu, memperlihatkan lebam dan berdarah pada bagian wajah dan kepala. Polisi bergerak represif, hingga memukul warga.

"Nama daya Nurjihad, saya datang di Desa Teromo ini akhir 1979, karena kami tidak punya lahan, kepala desa dan camat waktu itu, kasi kami lahan,” katanya.

“Waktu itu kami dibagi kelompok, kelompok saya ada 105 keluarga. Satu keluarga dikasi lahan garapan dua hektar. Itulah yang kami kelola, kami tanam, tanaman yang bisa menghasilkan. Kami tanam sayuran, kami tanam juga kakao.”

Di tempat baru itu, Nurjihad membangun harapan keluarganya. Pada 1987, Sindoka hadir dan menyatakan lahan tempat penduduk berkebun bagian HGU. Warga terusir.

“Kami diminta keluar. Kami diusir, kakao kami ditebang.. Itu jerih payah kami. Tetesan keringat kami, diambil begitu saja,” katanya.

Pada 1987, rezim Orde Baru berkuasa. Acap kali tindakan penggusuran atas nama pembangunan tak bisa dilawan. Melawan berarti menyerahkan hidup. Berangsur tahun kemudian, perusahaan tak lagi aktif, lahan mereka ditinggal begitu saja.

Tahun 1998, ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia, warga kembali memasuki lahan HGU. Nurjihad dan beberapa kawan kembali memasuki wilayah yang pernah mereka kelola.

Di areal itu, mereka membangun rumah. Ramai tempat itu, mirip perkampungan.

Pada 2012, perusahaan kembali datang dan mengklaim lagi kepemilikan. Warga mulai menantang. Tak ingin tergusur begitu saja. Tahun 2014 jadi puncak.

“Jadi, ada sekitar 30 rumah dibongkar. Satu mesjid. Kayu-kayunya mereka ambil semua. Kami tidak dikasi. Tidak ada ganti rugi. Kami melawan, dan membakar pos penjagaan perusahaan,” kata Nurjihad, seraya bilang, berujung penangkapannya dan kena tiga bulan penjara.

Bagi Rahmat, perusahaan telah menyiapkan 20% atau seluas 700 hektar, dari lahan HGU untuk dihibahkan ke pemerintah daerah. Lahan itu kelak akan diberikan pada empat desa yang jadi penyangga lahan perusahaan.

“Kalau pun nanti akan dibagi, mereka (warga yang melawan) tentu saja tidak akan mendapatkan jatah. Mereka bukan masyarakat dari empat desa ini. Itu yang jadi masalah. Mereka mau diakomodir. Padahal yang 700 hektar ini untuk masyarakat sekitar,” kata Rahmat.

Pada Maret, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel memasuki HGU Sindoka.

“Mereka masuk lokasi kami ini, benar-benar seperti pawai. Ramai-ramai. Seperti arak-arakan. Saya pak, prinsipnya dengan masyarakat setempat. Biarkan Sindoka menanam, kalau dalam proses Sindoka tidak lanjut, silakan ambil itu tanaman,” katanya.

Dalam rilis, KPA menyatakan, bila perusahaan telah menghancurkan lahan-lahan garapan warga di Luwu Timur.

Sepanjang Januari hingga April 2020, tak kurang 10 kali dalam empat bulan terakhir, perusahaan mengobrak-abrik, menebang, merusak, mencabut tanaman-tanaman hingga ancaman kriminalisasi terhadap petani-petani di Luwu Timur.

Bagi KPA, tindakan represif pada petani telah dimotori perusahaan dan kepolisian.

“Perusahaan-perusahaan yang menelantarkan lahan dan HGU telah habis tidak jadi target redistribusi. Ketimpangan dan konflik agraria terus menerus terjadi,” tulis KPA.

KPA juga menuding, perusahaan seharusnya memegang prinsip aturan, di mana pembangunan kebun sawit atau pengolahan bisa jalan apabila sudah memiliki HGU dan izin usaha perkebunan (IUP).

“Faktanya, aturan ini tidak dipenuhi Sindoka hingga setiap tindakan perusahaan ini ilegal dan melawan hukum.” Tulis KPA dalam rilis.

KPA juga menengarai, HGU Sindoka melalui pelepasan kawasan hutan hanya untuk mengambil kekayaan alam hutan Mangkutana berupa kayu hitam dan jenis lain.

“Banyak warga yang bersaksi melihat kayu-kayu diambil dan dibawa menggunakan helikopter. Kelapa cuma kedok dan manipulasi agar izin HGU bisa keluar,” kata KPA.

“Yang disampaikan KPA, itu tidak benar. Maka saya bilang, kalau teman-teman KPA mau berdiskusi, ayo kiat berdiskusi. Seperti apa dan bagaimana. Kami tidak pernah diajak. Tidak pernah. Malah kami ajak, waktu mereka masuk ke kebun itu hari. Mereka tidak mau,” kata Rahmat.

 

 

Komentar Via Facebook :